2013/07/22

Bocah itu bernama Aji dan Bagas...


Temaram kerlap-kerlip lampu jalanan menerangi gelapnya malam seiring fajar tak lagi menampakkan keindahannya. Di tepi kerumunan deru kendaraan, duduk bocah kecil berbaju merah di salah satu sudut pasar, selatan alun-alun kidul, Surakarta. Tanpa sepasang alas kaki yang menyelimuti kakinya, dengan wajah kusut dia sedang asyik menikmati sepiring nasi gulai dan dua gelas es teh. Entah siapa pemilik gelas yang satunya lagi. Bocah mungil itu sedikit kaget ketika kami mulai mendekat.

‘’Namanya siapa dek? “ tanyaku sambil duduk disampingnya
‘’Aji” jawabnya polos
‘’Disini sama siapa?” tanganku mulai menggapai bahunya yang kurus.
Sambil terus melahap sesendok nasi berkuah kuning dia pun menjawab datar “sama mas.’’
“Kemana masnya?’’ tanyaku penasaran.
Tanpa menjawab lagi, dia menyodorkan jari telunjuk kearah bocah mungil yang tengah berlalu-lalang di sisi deretan motor dan beberapa mobil dengan mengadahkan kedua telapak tangannya.


Ternyata dia lah pemilik gelas es teh tak bertuan itu. Dia terlihat terburu-buru menepi ke pinggir jalan saat traffic light berubah dari warna merah berganti lampu hijau. Terpaku sejenak setelah semua kendaraan meninggalkan dirinya sendiri di pinggir lampu temaram tugu Gading. Dari gerak-gerik tubuhnya, sepertinya dia takut untuk kembali ke tempat semula yang ternyata sudah ada tiga orang asing berada disana. Kami pun memanggilnya dengan isyarat lambaian tangan agar dia tidak merasa takut dengan keberadaan kami. Dia berperawakan lebih tinggi dari Aji. Dengan memakai baju batik berwarna hijau berlengan pendek tanpa memakai alas kaki, dia pun mendekat…

Heni, salah satu dari kami bertiga kemudian bertanya , ‘’Namanya siapa, dek?’’
Kepalanya menunduk, dengan sedikit malu-malu dia pun menjawab sambil memainkan jemari tangannya yang mungil dan sedikit kucel “Bagas…”
Kami bertiga semakin memiliki rasa keingintahuan yang besar tentang mereka.
Saya, Heni, dan Alfio silih berganti menanyakan banyak hal terutama alasan mengapa mereka berdua berada di tempat itu saat semua anak seusia mereka tengah berkumpul dengan keluarga untuk sekedar menonton televisi atau bercengkerama dengan orantuanya.

Bagas dan Aji adalah kakak beradik yang kesehariannya mengumpulkan pundi-pundi rupiah di sekitar perempatan Gading. Aji,masih duduk di kelas 4 SD dan Bagas, kakaknya, duduk di bangku kelas 5 SD.
Awalnya mereka sedikit canggung, namun setelah kami memperkenalkan diri dan memberi beberapa coklat, ketakutakutan mereka mereda. Bahkan, Aji menceritakan dengan detail tentang hidup mereka.

“umahku kae hlo mbak, gon mburi pasar pithik… Enek puskesmas tho, manjat, mudun, cedak garasi gedhe pannggonane truk-truk, nah jejere kono mbak, umahku…”

(“Rumahku disana, kak. Belakang pasar ayam. Dekat Puskesmas. Jalan naik, turun. Dekat garasi tempat persinggahan truk-truk. Nah disampingnya itu, letak rumahku kak…”)
Aihhh.. polosnya anak satu ini. Pengen saya bawa pulang. <3
Saya yakin kalau kalian ngobrol langsung bersamanya, kalian juga akan merasakan hal yang sama.

Rumah mereka berjarak sekitar 3 km dari perempatan Gading, tepatnya di daerah pasar Klithikan.
Mereka terbiasa berjalan kaki atau naik becak seharga 5 ribu rupiah untuk bisa pulang ke rumah seusai mengumpulkan sedikitnya 20 ribu untuk kemudian disetorkan kepada ibu mereka, Saryana, yang ternyata berprofesi sama seperti mereka. Sedangkan ayah mereka ternyata sudah lama pulang ke Rahmatullah. 
Setiap sehabis maghrib sampai jam 9 malam, mereka beraksi ditengah ramainya huru-hara kesibukan kota Solo.

Masih banyak ilustrasi-ilustrasi yang terekam dalam memori kami bertiga dan akan selalu kami simpan.
Masih terlihat jelas saat kami mulai mengusap-usapkan tangan dari atas sampai telapak tangan pertanda bahwa kami merasa kedinginan, sedangkan Bagas terlihat tegap seakan sudah terbiasa bersahabat dengan dinginnya angin malam.

Saat kami dengan gampangnya menghamburkan uang 20 ribu untuk sekedar bersenang-senang, berkumpul dengan teman-teman sedangkan Bagas dan Aji harus merelakan waktu istirahatnya yang seharusnya seusia mereka sedang belajar dan membutuhkan bimbingan orangtua.

Bagas dan Aji, merupakan salah satu potret kehidupan anak jalanan.
Masih banyak Bagas dan Aji yang lain di luar sana yang luput dari pandangan kita. 
Bahkan mungkin lebih memprihatinkan. 
Tidak ada pilihan lain. Semua karena tuntutan ekonomi ditengah hiruk-pikuk permasalahan negeri ini.
Namun, kita tidak perlu menyalahkan pemerintah atas dasar tidak meratanya kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, atau  bla bla bla...
It belong completely crucial problems. But it is our responsibility.
Ini bukan hanya tugas pemerintah, namun tugas kita semua.
Tugas manusia sebagai hamba Tuhan agar selalu menunduk dan bersyukur atas nikmat yang telah kita terima.
Tugas para pemegang harta agar menyisihkan sebagian dari rezeki yang diberikan oleh Allah SWT.
Tugas para pemuda agar meregangkan tangan dan lebih peka terhadap kehidupan sosial di sekitar kita.

Berlatar belakang dari semua ini, kami, mahasiswa di Solo bergabung dalam komunitas Save Street Child Solo sebagai komunitas sosial yang peduli terhadap anak jalanan di Solo.
Alhamdulillah pada tanggal 18 Juli 2013 kemarin, kami telah melaksanakan project pertama kami yaitu buber on the street bersama kurang lebih 100 anak jalanan di Solo dan akan disusul project-project selanjutnya termasuk kegiatan belajar mengajar bagi anak-anak jalanan agar masa depan mereka lebih terarah. Harapan kami adalah agar sedari kecil, mereka diberi pemahaman untuk tidak bergantung dengan receh di jalanan. Kita peduli terhadap masa depan mereka agar mereka punya mimpi untuk merubah kehidupan mereka, kelak menjadi lebih baik.

Bagi temen-temen yang ingin mengetahui lebih lanjut kegiatan kami silahkan buka link SSC Solo ataupun SaveStreet Child yang berpusat di Jakarta.
Kami dengan senang hati menerima sumbangsih pikiran, donasi ataupun keikutsertaan teman-teman dalam seluruh kegiatan Save Street Child Solo J

Kak Heni (Kiri) mahasiswi Fak. Ekonomi UNS, Aji dan Bagas (tengah) dengan wajah polosnya, dan saya (kanan)

Aji dan Bagas yang masih canggung saat pertama kali bertemu
bersama kak Alfio (Kiri) Mahasiswa ISI Surakarta dan Saya (Kanan)

4 komentar:

  1. semangattt kak nurul, mari kita bersama-sama beri mereka pengetahuan dan kreatifitas..., kita lepas cap buruk yang melekat pada anak jalanan.
    Semangat terus SSCSOLO :)

    BalasHapus
  2. terimakasih kak Ferry yang sudah mendukung blog ini dan SSCSOLO :D.

    BalasHapus
  3. The beautiful moment to study together,
    Learning in a long journey with Aji and Bagas (Dani Ratriana)

    BalasHapus
  4. Entah kapan,
    Semoga suatu saat saya bisa bergabung dan berkontribusi dengan SSCSOLO =))

    BalasHapus