Temaram kerlap-kerlip lampu
jalanan menerangi gelapnya malam seiring fajar tak lagi menampakkan
keindahannya. Di tepi kerumunan deru kendaraan, duduk bocah kecil berbaju merah
di salah satu sudut pasar, selatan alun-alun kidul, Surakarta. Tanpa sepasang
alas kaki yang menyelimuti kakinya, dengan wajah kusut dia sedang asyik
menikmati sepiring nasi gulai dan dua gelas es teh. Entah siapa pemilik gelas yang
satunya lagi. Bocah mungil itu sedikit kaget ketika kami mulai mendekat.
‘’Namanya siapa dek? “ tanyaku
sambil duduk disampingnya
‘’Aji” jawabnya polos
‘’Disini sama siapa?” tanganku
mulai menggapai bahunya yang kurus.
Sambil terus melahap sesendok
nasi berkuah kuning dia pun menjawab datar “sama mas.’’
“Kemana masnya?’’ tanyaku
penasaran.
Tanpa menjawab lagi, dia
menyodorkan jari telunjuk kearah bocah mungil yang tengah berlalu-lalang di sisi
deretan motor dan beberapa mobil dengan mengadahkan kedua telapak tangannya.
Ternyata dia lah pemilik gelas es
teh tak bertuan itu. Dia terlihat terburu-buru menepi ke pinggir jalan saat traffic light berubah dari warna merah
berganti lampu hijau. Terpaku sejenak setelah semua kendaraan meninggalkan
dirinya sendiri di pinggir lampu temaram tugu Gading. Dari gerak-gerik
tubuhnya, sepertinya dia takut untuk kembali ke tempat semula yang ternyata
sudah ada tiga orang asing berada disana. Kami pun memanggilnya dengan isyarat
lambaian tangan agar dia tidak merasa takut dengan keberadaan kami. Dia berperawakan
lebih tinggi dari Aji. Dengan memakai baju batik berwarna hijau berlengan
pendek tanpa memakai alas kaki, dia pun mendekat…
Heni, salah satu dari kami
bertiga kemudian bertanya , ‘’Namanya siapa, dek?’’
Kepalanya menunduk, dengan sedikit
malu-malu dia pun menjawab sambil memainkan jemari tangannya yang mungil dan
sedikit kucel “Bagas…”
Kami bertiga semakin memiliki
rasa keingintahuan yang besar tentang mereka.
Saya, Heni, dan Alfio silih
berganti menanyakan banyak hal terutama alasan mengapa mereka berdua berada di
tempat itu saat semua anak seusia mereka tengah berkumpul dengan keluarga untuk
sekedar menonton televisi atau bercengkerama dengan orantuanya.
Bagas dan Aji adalah kakak
beradik yang kesehariannya mengumpulkan pundi-pundi rupiah di sekitar
perempatan Gading. Aji,masih duduk di kelas 4 SD dan Bagas, kakaknya, duduk di
bangku kelas 5 SD.
Awalnya mereka sedikit canggung, namun setelah kami
memperkenalkan diri dan memberi beberapa coklat, ketakutakutan mereka mereda.
Bahkan, Aji menceritakan dengan detail tentang hidup mereka.
“umahku kae hlo mbak, gon mburi pasar pithik… Enek puskesmas tho,
manjat, mudun, cedak garasi gedhe pannggonane truk-truk, nah jejere kono mbak,
umahku…”
(“Rumahku disana, kak. Belakang
pasar ayam. Dekat Puskesmas. Jalan naik, turun. Dekat garasi tempat
persinggahan truk-truk. Nah disampingnya itu, letak rumahku kak…”)
Aihhh.. polosnya anak satu ini.
Pengen saya bawa pulang. <3
Saya yakin kalau kalian ngobrol
langsung bersamanya, kalian juga akan merasakan hal yang sama.
Rumah mereka berjarak sekitar 3
km dari perempatan Gading, tepatnya di daerah pasar Klithikan.
Mereka terbiasa
berjalan kaki atau naik becak seharga 5 ribu rupiah untuk bisa pulang ke rumah
seusai mengumpulkan sedikitnya 20 ribu untuk kemudian disetorkan kepada ibu
mereka, Saryana, yang ternyata berprofesi sama seperti mereka. Sedangkan ayah
mereka ternyata sudah lama pulang ke Rahmatullah.
Setiap sehabis maghrib sampai
jam 9 malam, mereka beraksi ditengah ramainya huru-hara kesibukan kota Solo.
Masih banyak ilustrasi-ilustrasi
yang terekam dalam memori kami bertiga dan akan selalu kami simpan.
Masih terlihat jelas saat kami
mulai mengusap-usapkan tangan dari atas sampai telapak tangan pertanda bahwa
kami merasa kedinginan, sedangkan Bagas terlihat tegap seakan sudah terbiasa bersahabat
dengan dinginnya angin malam.
Saat kami dengan gampangnya
menghamburkan uang 20 ribu untuk sekedar bersenang-senang, berkumpul dengan
teman-teman sedangkan Bagas dan Aji harus merelakan waktu istirahatnya yang
seharusnya seusia mereka sedang belajar dan membutuhkan bimbingan orangtua.
Bagas dan Aji, merupakan salah
satu potret kehidupan anak jalanan.
Masih banyak Bagas dan Aji yang lain di
luar sana yang luput dari pandangan kita.
Bahkan mungkin lebih memprihatinkan.
Tidak
ada pilihan lain. Semua karena tuntutan ekonomi ditengah hiruk-pikuk permasalahan
negeri ini.
Namun, kita tidak perlu menyalahkan pemerintah atas dasar tidak
meratanya kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, atau bla bla bla...
It belong completely crucial
problems. But it is our responsibility.
Ini bukan hanya tugas pemerintah,
namun tugas kita semua.
Tugas manusia sebagai hamba Tuhan
agar selalu menunduk dan bersyukur atas nikmat yang telah kita terima.
Tugas para pemegang harta agar
menyisihkan sebagian dari rezeki yang diberikan oleh Allah SWT.
Tugas para pemuda agar meregangkan
tangan dan lebih peka terhadap kehidupan sosial di sekitar kita.
.jpg)
Alhamdulillah pada tanggal 18 Juli 2013 kemarin,
kami telah melaksanakan project pertama kami yaitu buber on the street bersama
kurang lebih 100 anak jalanan di Solo dan akan disusul project-project
selanjutnya termasuk kegiatan belajar mengajar bagi anak-anak jalanan agar masa
depan mereka lebih terarah. Harapan kami adalah agar sedari kecil, mereka
diberi pemahaman untuk tidak bergantung dengan receh di jalanan. Kita peduli
terhadap masa depan mereka agar mereka punya mimpi untuk merubah kehidupan
mereka, kelak menjadi lebih baik.
Bagi temen-temen yang ingin
mengetahui lebih lanjut kegiatan kami silahkan buka link SSC Solo ataupun SaveStreet Child yang berpusat di Jakarta.
Kami dengan senang hati menerima
sumbangsih pikiran, donasi ataupun keikutsertaan teman-teman dalam seluruh
kegiatan Save Street Child Solo J
![]() |
Kak Heni (Kiri) mahasiswi Fak. Ekonomi UNS, Aji dan Bagas (tengah) dengan wajah polosnya, dan saya (kanan) |
![]() |
Aji dan Bagas yang masih canggung saat pertama kali bertemu bersama kak Alfio (Kiri) Mahasiswa ISI Surakarta dan Saya (Kanan) |